SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADHAN 1432 H.

Friday, May 20, 2011

Penentuan Ramadhan

Ramadhan adalah bulan kesembilan setiap tahun Qamariah. Selama siang hari pada bulan itu, lelaki dan perempuan diwajibkan berpuasa yaitu menekan kehendak perut dan kehendak syahwat disamping melakukan ketentuan hukum lainnya dalam Islam. Gunanya tidak lain agar manusia beroleh keinsyafan sejalan dengan tuntunan hidup dalam Alquran yang diturunkan dulunya juga pada bulan itu. Hal demikian menjadi salah satu unsur kenapa orang dianjurkan memakai penanggalan Lunar Year, termuat pada Ayat 9/36 dan 9/37, dan dilarang memakai penanggalan Solar Year yaitu pergantian musim yang dari abad ke abad selalu berkurang waktunya.

Secara umum, penanggalan Qamariah dapat diketahui berlangsung permanen di seluruh zaman atas perhitungan orbit Bulan keliling Bumi dengan kecepatan tanpa perubahan, dimulai dari waktu berlakunya sesuatu gerhana Surya total ataupun separuhnya. Untuk itu telah kita susun suatu kalender dimulai dari Tahun 1351 sampai dengan Tahun 1450. Itulah yang dimaksud ALLAH pada Ayat 2/185 “siapa yang membuktikan dari kamu bulan itu, hendaklak mempuasakannya,” dan sebelumnya hendaklah menyampaikan kepada masyarakat tentang ibadah itu. Jadi, bukanlah orang yang mengetahui awal bulan itu Ramadhan agar serentak bersama-sama melakukan ibadah itu. Jadi, bukanlah orang yang mengetahui awal bulan itu harus berpuasa sendiri sambil membiarkan orang lain saling bertanya atau menunggu terbitnya Hilal bulan Ramadhan secara nyata di angkasa. Sikap begini tidak tepat bagi orang-orang beriman yang hidup dalam masyarakat Islam termuat pada awal Ayat 2/185 itu sendiri.

Tetapi semenjak lama sudah menjadi tradisi pada sementara masyarakat Islam bahwa mereka memahami maksud Ayat Suci tadi dengan melihat Hilal Ramadhan di ufuk barat sewaktu Surya hendak atau sudah terbenam, bahkan ada yang membentuk badan dan jawatan resmi untuk keperluan itu dengan ongkos besar dan usaha susah payah. Mungkin mereka tidak memiliki bahan perhitungan cukup untuk suatu susunan kalender Qamariah jangka panjang, maka dalam hal ini wajarlah mereka memakai Rukyah atau melihat Hilal Bulan di ufuk barat. Dan memang pada Ayat 2/184 dinyatakan puasa itu pada hari-hari berbilang yaitu bukan selama jumlah hari yang tegas ditentukan. Semenjak zaman Nabi Muhammad pernah kejadian bahwa Ramadhan ada kalanya 30 hari dan ada kalanya 29 hari, sedangkan 11 bulan lainnya mempunyai jumlah hari yang tetap dari tahun ke tahun.

Sebaliknya mungkin pula mereka salah tanggap tentang beberapa istilah hingga juga menimbulkan salah terjemah dan salah pasang. Kalimat asli pada Ayat 2/185 diantaranya berbunyi “FAMAN SYAHIDA MINKUMUSY SYAHRA FAL YASHUMHU”, hingga mengandung ketentuan ilmiah tentang perhitungan penanggalan Qamariah, tetapi ada terjemahan Alquran di akhir abad 14 Hijriah memberikan arti lain, di bawah ini kita kutipkan dan membandingkan dengan terjemahan wajar:

Terjemahan keliru:

2/185. ………………………………………………
Barang siapa di antara kamu menjalani bulan itu hendaklah berpuasa selama itu…..

2/185. ……………………………………………
Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
hendaklah dia berpuasa pada bulan itu.

Terjemahan wajar:

2/185. ... ................
Siapa yang membuktikan dari kamu bulan itu, hendaklah mempuasakannya.

Walaupun pada ketiga terjemahan itu terdapat perbedaan yang banyak, namun yang diperbincangkan di sini hanyalah mengenai terjemahan istilah SYAHIDA dan SYAHRA. Kedua macam istilah itu banyak ditemui dalam Alquran, SYAHIDA tercantum pada Ayat 2/185, 3/18, 3/86, 4/15, 6/19, 6/130, 6/150, 7/37, 12/26, 12/81, 21/61, 24/2, 24/8, 24/24, 27/32, 41/20, 43/19, 43/86, 46/10, 59/11, dan 65/2. Semuanya berarti “membuktikan” dan tidak satu juga yang diartikan dengan “menjalani” atau “hadir”. Bagaimana pula cara menterjemahkan dua kalimat syahadah jika SYAHIDA diartikan dengan itu hingga berupa “Aku menjalani (hadir) bahwa tiada Tuhan selain ALLAH.” Jadi SYAHIDA haruslah diartikan dengan MEMBUKTIKAN yaitu pengakuan ilmiah bahwa Tuhan hanya ALLAH dan Muhammad Rasul-NYA sekali pun tidak pernah melihatnya.

Sejauh ini kita belum sampai pada sasaran tentang sebab-musabab adanya masyarakat yang melihat Hilal Ramadhan agar besoknya mulai berpuasa wajib. Mungkin ada orang yang memahami Ayat 2/185 tadi dengan “Siapa yang melihat dari kamu Bulan itu hendaklah mempuasakannya.” Hal ini pun bersalahan dengan maksud Ayat Suci sebenarnya, karena yang dapat dilihat ialah MOON atau BULAN yang mengorbit di angkasa, dalam Alquran disebut dengan QAMAR, sedangkan yang tercantum pada Ayat 2/185 ialah istilah SYAHRA berarti “bulan” penanggalan yang tidak dapat dilihat dengan mata karena dia hanyalah nama dari sejumlah hari berkelompok jadi satu bagian dari duabelas bagian lainnya dalam setahun. Istilah SYAHRU dapat dibaca pada Ayat 2/185, 4/92, 9/36, 34/12, dan 46/15.

Jadi, yang dimaksud pada Ayat 2/185 bukanlah melihat Bulan atau Hilalnya di ufuk barat waktu maghrib, tetapi mengetahui bulan penanggalan Ramadhan dan dapat membuktikan dengan perhitungannya,langsung menyatakan kepada masyarakat melalui berbagai media, lalu memulai ibadah puasa Ramadhan pada hari tanggal pertama dari bulan itu.

Dalam tradisi ada disebut Nisfu Sya’ban, separuh Sya’ban” atau juga pertengahannya yaitu hari kelima belas Sya’ban bulan kedelapan, yang sesudah 15 hari kemudiannya pasti berlaku tanggal satu Ramadhan. Dalam susunan kalender yang berdasarkan orbit Bulan senantiasa Sya’ban memiliki 30 hari. Penanggalan Ramadhan saja yang mempunyai jumlah hari berbeda, 29 pada tahun biasa dan 30 pada tahun kabisat.

Dengan pengetahuan tradisional demikian, mungkin juga sudah berlaku semenjak zaman Nabi Muhammad, maka setengah orang ada yang sengaja keluar rumah sewaktu maghrib pada tanggal 15 Sya’ban untuk memperhatikan status Bulan yang tampak terbit di ufuk timur. Sekiranya Bulan terbit sebelum Surya terbenam di ufuk barat maka malam itu dan siang besoknya adalah tanggal 14 bulan itu. Tetapi ingatlah bahwa kejadian ini hanya wajar dan pernah jadi tradisi bagi penduduk daerah Torrid Zone atau di daerah panas sekitar Ekuator. Tetapi ketika terbukti bahwa Bulan tampak terbit di ufuk timur sesudah Surya selesai terbenam di barat, maka malam itu dan siang besoknya adalah tanggal 15 Sya’ban dan 16 malam kemudian tentulah malam tanggal 1 Ramadhan. Itulah Rukyah wajar dan logis jika orang tidak memiliki kalender Qamariah jangka panjang. Melihat atau Rukyah Bulan pada tanggal 15 Sya’ban wajar sekali dilaksanakan di semua tempat kediaman pada daerah Ekuator keliling Bumi untuk menentukan tanggal 1 Ramadhan 16 hari berikutnya, dan dapat dilakukan masyarakat Islam setiap tahun pada Nisfu Sya’ban, mereka tidak memerlukan biaya juga pejabat resmi, dan tidak pula usaha susah payah seperti yang dibutuhkan bagi Rukyah Hilal Bulan pada awal bulan Ramadhan. Walaupun Rukyah Nisfu Sya’ban tidak sesungguhnya tepat seluruhnya menurut perhitungan kalender tetapi halnya lebih benar dibanding dengan Rukyah Hilal.

Mengenai Qunut, Sahur, dan Menggerakkan Telunjuk Dalam Shalat

Menggerakkan telunjuk saat tasyahhud, maka paling tidak ada dua riwayat yang bisa dikemukakan:

1. “Nabi saw. memberi isyarat dengan telunjuknya saat tasyahhud tatkala berdoa tanpa menggerakkannya.” (H.R. Abû Dwud dan al-Nasâ’i).
2. “Beliau mengangkat telunjuknya dan saya melihat beliau menggerakkannya saat berdoa.” (H.R. al-Nasâ`I dan al-Dârimî).

Kedua riwayat di atas sama-sama sahih. Nah, berdasarkan riwayat yang pertama madzhab Syafi’I berpendapat makruh hukumnya jika telunjuk tersebut terus-menerus digerakkan. Bagi mereka yang disunahkan adalah isyarat dengan telunjuk saat membaca kalimat tauhid yang disertai niat mengikhlaskan tauhid kepada Allah Swt. Sementara, kata menggerakkan pada riwayat yang kedua mereka pahami sebagai memberikan isyarat.


Hukum sahur menurut para fukaha adalah sunnah. Ada banyak hadis Nabi saw. yang menganjurkan kita untuk bersahur. Di antaranya:
1. Anas ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Bersahurlah, karena dalam sahur terdapat keberkahan.” (H.R. al-Bukhârî dan Muslim).
2. Amr ibn al-Ash ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Yang membedakan antara puasa kita dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.” (H.R. Muslim).
Dari sini, jelas bahwa bersahur sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw.


Qunut dalam shalat subuh memang diperselisihkan oleh para ulama;

1. Kalangan Hanafi, Hambali, dan al-Tsauri berpendapat bahwa qunut pada shalat subuh tidak disyariatkan. Bahkan Abû Hanifah berkata, “qunut di saat subuh adalah bid’ah”. Sementara kaum Hambali berpendapat makruh. Dalil yang mereka pakai adalah riwayat yang menerangkan bahwa beliau berqunut pada salat subuh selama satu bulan lalu meninggalkannya (al-Bukhari). Ini menunjukkan bahwa kebiasaan qunut saat subuh telah dimansukh atau dihapuskan.

2. Pendapat terkenal dari kalangan Maliki bahwa qunut dalam shalat subuh dianjurkan dan sebagai keutamaan. Landasannya, Nabi saw. selalu berqunut dalam shalat subuh. Bahkan Anas berkata, “Rasulullah saw. senantiasa berqunut saat subuh hingga meninggal dunia.” (Ahmad dan al-Bayhaqi. Namun ia dianggap dhaif oleh Ibn al-Jawzi dalam Nashb al-Râyah).

3. Kalangan Syafii berpendapat qunut dalam shalat subuh adalah sunnah muakkad. Dalilnya adalah seperti yang disebutkan oleh Anas di atas. Namun demikian, jika ditinggalkan menurut mereka shalatnya tidak batal, namun hendaknya melakukan sujud sahwi.

Ketika mengomentari hadis riwayat Anas, Sayyid Sabiq menegaskan bahwa pada sanad hadis tersebut terdapat Abu Ja’far ar-Razi yang dianggap tidak kuat dan hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah. Sebab, tidak masuk akal bahwa Rasulullah saw. berqunut sepanjang hidup beliau dalam shalat subuh, lalu ditinggalkan oleh para penerusnya. Bahkan, Anas sendiri berdasarkan sebuah riwayat tidak berqunut. Namun, demikian, semua pendapat tersebut merupakan ikhtilaf yang bersifat mubah; bisa dilakukan atau ditinggal.

Puasa Syawal dan Hukum Menggabungkan Niat dengan Puasa Qadha


Rasul Saw. Bersabda: Siapa-siapa berpuasa di bulan Ramadhan lalu dilanjutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seakan-akan dia telah berpuasa satu tahun. (HR. Muslim).

Hadis di atas menginformasikan kepada kita tentang keutamaan puasa enam hari setelah bulan Ramadhan (puasa Syawal) yaitu mendapat pahala puasa yang setara dengan puasa satu tahun penuh. Karena setiap 1 kebaikan dilakukan diberi ganjaran pahala dengan 10 kebaikan (Siapa-siapa yang melakukan kebaikan maka baginya mendapat 10 kebaikan. QS. 6 : 106). Dihitung dari 1 bulan Ramadhan, tambah 6 hari Syawal, dan dikalikan 10, sama dengan 360 hari dan itu adalah jumlah hari dalam satu tahun.

Puasa Syawal hukumnya berpahala bagi yang mengerjakannya dan tidak berdosa bagi yang meninggalkannya, ia disyariatkan untuk menutupi kekurangan-kekurangan ibadah puasa Ramadhan, sehingga dapat memurnikannya dari hal-hal mengurangi nilainya di sisi Allah Swt.

Di sisi lain puasa syawal merupakan sunat rawatib bagi puasa wajib. Sebagaimana di dalam shalat 5 waktu diiringi dengan sunat qabliah atau sunat ba'diah, untuk menutupi kekurangan baik dari sisi perbuatan, perkataan, atau kekhusukannya. Demikian halnya semua kewajiban-kewajiban yang dititahkan Allah kepada hamba-Nya tetap didampingi dengan amalan-amalan sunat untuk penyempurnaannya, karena sebagai hamba yang dhaif tidak mampu melaksanakan ibadah itu seperti benar-benar apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Keutamaan lain yang didapat dari puasa Syawal ini adalah mengikuti jejak para Nabi dan Rasul yang sering membiasakan diri dengan melaksanakan puasa-puasa sunat.

Nabi Nuh as. puasa sunat sepanjang tahun, Nabi Musa as. puasa asyura (10 Muharram) sebagai ungkapan kesyukuran atas kemenangannya dari kejaran Fir'aun yang durjana dan sombong. Nabi Daud as. berpuasa satu hari dan berbuka satu hari. Nabi Isa as. berpuasa dua hari sekali. Demikian pula Nabi kita Muhammad SAW. selalu membiasakan puasa-puasa sunat sampai-sampai orang mengatakan beliau tidak akan berbuka, dan beliau juga berbuka sampai-sampai orang berkata bahwa beliau tidak akan berpuasa.

Perbedaan-perbedaan puasa sunat yang dipilih oleh para Nabi tersebut sesuai dengan kondisi umat ketika itu, seperti Nabi Nuh dan kaumnya terkenal nabi dan kaum yang sangat kuat fisiknya, maka mereka puasa sunat sepanjang tahun, sedangkan Nabi Isa as. nabi yang memiliki tubuh yang kurus memilih puasa 2 hari sekali, sejatinya puasa-puasa sunat ini merupakan penawar hati (tiryaaq) bagi para Rasul dan Nabi dan bagi orang beriman, sewajarnya memilih mana yang dibutuhkan.

Seseorang yang berpuasa syawwal atau puasa sunat lainnya di saat orang-orang berlebaran, berhalal bi halal, atau diundang untuk menghadiri acara jamuan makan, diberikan hak untuk memilih antara melanjutkan puasanya atau membatalkannya, sesuai dengan prinsip hukum puasa itu sendiri boleh berbuka dan boleh melanjutkan puasanya.

Rasul Saw. bersabda: Apabila diundang seseorang kamu untuk acara jamuan makan (sedangkan dia puasa) maka, dia boleh memilih untuk makan atau tidak makan (melanjutkan puasa). (HR. Muslim, Abu Daud). Dan di dalam riwayat Ibnu Mas'ud, bagi orang tidak puasa hendaklah dia makan dan bagi orang yang puasa hendaklah dia mendo'akan keberkahan.

Dan puasa 6 hari bulan Syawal tidak mesti berturut-turut dan boleh berselang-selang hari, selagi dalam bulan Syawal, akan tetapi sebaiknya disegerakan setelah merayakan hari raya Idul Fitri. (lihat Fiqih Islam Wahbah Azzuhaily 2 : 586).

Adapun puasa Qadha, adalah puasa pengganti dari puasa wajib yang ditinggalkan karena sakit yang diharapkan sembuh, musafir, haid, nifas, melahirkan dan lain-lain, terkecuali tidak sanggup mengganti dengan puasa maka diganti dengan fidiyah, memberi makan seorang fakir miskin, satu hari (1 kali makan), untuk satu hari puasa dan meng-qadha puasa ini pun tidak mesti berturut-turut, namun lebih baik disegerakan sebelum masuk Ramadhan tahun depan. Apabila masuk Ramadhan tahun berikutnya sedangkan puasa Ramadhan yang lalu belum diganti (qadha), maka menurut Jumhur (mayoritas) Ulama Fiqih, wajib mengganti puasa (qadha) dan membayar denda (fidyah) atas keteledorannya setiap satu hari puasa yang ditinggalkannya memberi makan seorang fakir miskin. (lihat Fikih Islam Wahbah Azzuhaily 2: 680).

Dan bagaimana pula hukumnya menggabungkan niat puasa Syawal dengan puasa qadha Ramadhan? Dengan kata lain puasa qadha Ramadhan dikerjakan pada bulan Syawal dalam 1 hari yang sama, memakai dua niat yaitu puasa qadha (wajib) dan puasa syawal (sunat) atau dengan istilah two in one, 2 niat satu pekerjaan.

Di dalam kitab Al Asybah wan Nazhair oleh Jalaluddin Assayuti, persoalan ini diungkap secara panjang lebar, dan membagi kepada 4 masalah.

Pertama, menggabung niat ibadah wajib dengan ibadah sunat, seperti menggabung niat shalat wajib dengan shalat sunat Tahiatul Masjid, maka hukumnya sah dan kedua-duanya berpahala. Demikian juga menggabungkan niat mandi janabah dan mandi sunat Jum'at, kedua-duanya berpahala. Selanjutnya, menggabungkan niat puasa qadha dan puasa sunat Arafah, atau puasa wajib lainnya seperti puasa Nazar, puasa Kafarat dengan puasa sunat lainnya, maka hukumnya sah dan boleh seperti yang difatwakan oleh Al Barizi.

Dengan memperhatikan persoalan-persoalan di atas dan membandingkan dengan persoalan yang diangkat dalam tulisan ini yaitu menggabungkan niat puasa qadha dengan puasa sunat Syawal menurut hemat penulis tidak ada perbedaannya, yaitu menggabungkan niat puasa wajib (qadha) dengan puasa sunat, maka hukumnya disamakan dengan persoalan-persoalan di atas yaitu boleh dan sah kedua niat ibadah tersebut Insya Allah.

Kedua, niat yang sah adalah ibadah wajibnya saja, sedangkan ibadah sunat adalah batal. Contoh yang dikemukakan dalam persoalan ini menggabungkan niat qadha shalat wajib dengan niat sunat Tarawih pada bulan Ramadhan, maka hanya shalat wajib saja yang sah dan mendapat pahala, sedangkan Tarawih tidak sah sama sekali seperti difatwakan oleh Ibnu Solah.

Ketiga, kedua-duanya batal, yaitu menggabungkan niat ibadah wajib dengan ibadah wajib lainnya, seperti menggabungkan niat mandi wajib dan niat berwudhuk sekaligus, maka kedua-duanya batal.

Keempat, menggabungkan niat ibadah sunat dengan ibadah sunat lainnya, seperti menggabungkan niat mandi Jum'at dengan niat mandi hari raya, maka kedua-duanya sah.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa puasa Syawal hukumnya adalah sunat dan boleh dikerjakan secara terpisah (tidak berturut-turut), tapi sebaiknya dikerjakan segera selepas 1 syawwal dan berturut-turut enam hari. Dan puasa qadha Ramadhan dapat digabungkan niatnya dengan puasaSyawal bila diqiyaskan dengan penggabungan niat puasa Nazar dan puasa Arafah seperti yang difatwakan oleh Al Barizy di dalam kitab Qawaid Al Fiqh. Wallahua'lam.

Oleh H.M. Nasir, Lc, MA

Shalat Arba'in di Masjid Nabawi

Sebagian jama'ah haji ada yang menggunakan kesempatan berziarah ke Madinah untuk melaksanakan shalat empat puluh kali secara berturut-turut di masjid Nabawi. Amaliah ini lebih kita kenal dengan istilah Shalat Arba'in. Bagaimanakah Shalat Arba'in itu? Adakah tuntunan Nabi SAW yang mengajarkannya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kalau melihat hadlts Nabi SAW, yang menjelaskan keutamaan tiga masjid yang mempunyai sejarah besar dalam Islam, yakni masjidil Haram, masjib Nabawi serta masjidil Aqsha.


عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَاتَشُدُّ الرِّحَالَ إلاَّ فِيْ ثَلَاثٍ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِيْ هَذَا وَاْلمَسْجِدِ الْأقْصَى –صحيح البخاري


“Dari Abli. Hurairah RA dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda, ‘Janganlah kamu bersikeras untuk berkunjung kecuali pada tiga tempat, yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), serta Masjidil Aqsa.’” (HR Bukhari)

Dalam hadits ini, ada anjuran yang sangat kuat dari Nabi SAW untuk berziarah, mendatangi sekaligus beribadah di tiga masjid itu. Karena tempat-tempat tersebut mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki tempat lain di dunia ini. Dalam sebuah hadits disebutkan:


عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلاَةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إلاَّ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ صَلاَةٌ فِيْ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفٍ فِيْمَا سِوَاهُ –مسند أحمد بن حنبل


"Dari Jabir RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Melakukan shalat satu kali di masjidku ini lebih utama dari shalat seribu kali di tempat lain, kecuali Masjidil Haram. Dan melakukan shalat satu kali di Masjidil Haram lebih utama dari pada melakukan shalat seratus ribu kali di tempat lainnya." (Musnad Ahmad bin Hanbal)

Dari hadits ini terlihatjelas bahwa melakukan ibadah di dua masjid tersebut memiliki keutamaan yang sangat besar. Karena itu, para ulama sangat menganjurkan orang yang sedang melakukan ibadah haji, sebisa mungkin untuk memperbanyak melaksanakan ibadah di masjid tersebut. Al­Imam ar-Rabbani Yahya bin Syarf an-Nawawi dalam Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj menjelaskan:

"Orang yang melakukan ibadah haji, selama ia di Madinah, selayaknya untuk selalu melaksanakan shalat di Masjid Rasulullah SAW. Dan sudah seharusnya dia juga berniat 'i'tikaf, sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang ibadah di Masjidil Haram. (Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj wal Umrah, hal 456)

Dan sangat dianjurkan untuk melaksanakan shalat tersebut secara berturut turut selama empat puluh kali. Sebab ada fadhilah yang sangat besar jika perbuatan ini dilaksanakan di Masjid Nabawi. Rasulullah SAW bersabda:


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى فِيْ مَسْجِدِيْ أَرْبَعِيْنَ صَلَاةً لَا تَفُوْتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَ بَرَاءَةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَ بَرِيْءٌ مِنَ النِّفَاقِ –مسند أحمد بن حنبل


"Dari Anas bin Miilik, bahwa Rasululliih SAW bersabda, "Barangsiapa shalat di masjidku ini (masjid Nabawi) selama empat puluh kali berturut-turut, maka dicatat baginya kebebasan dari neraka, selamat dari adzab, serta terbebas dari kemunafikan." (Musnad Ahmad bin Hanbal).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Shalat Arba'in oleh jama'ah haji atau umat Islam lainnya ketika di Madinah memang dianjurkan di dalam syariat Islam.



KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember